Konflik
Konflik berasal dari kata kerja
Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik
diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga
kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan
menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.Tidak satu masyarakat pun yang
tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat
lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu
sendiri.
Konflik dilatarbelakangi oleh
perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi.
perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik,
kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan
dibawasertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan
situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang
tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat
lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu
sendiri
Contoh :Konflik Aceh
Masalah mulai muncul sejak
hadirnya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatera. Pasca
penangkapan Sukarno-Hatta oleh Belanda, pejabat PDRI – di bawah tekanan Belanda
– mengangkat dua Gubernur Militer. Salah satu dari mereka adalah Teungku Daud
Beureueh, yang memerintah Daerah Militer Istimewa Aceh, Langkat, dan Tanah Karo
untuk kemudian dibentuk pula Provinsi Aceh dengan Teungku Daud Beureueh selaku
gubernurnya. Selepas PDRI, berlaku negara Republik Indonesia Serikat (RIS).
Namun, RIS tidak memasukkan Aceh sebagai sebuah provinsi mandiri seperti PDRI
dahulu ke dalam konstitusinya. Aceh hanya dijadikan salah satu karesidenan,
bagian dari provinsi Sumatera Utara. Perubahan ini mendorong munculnya
kekecewaan di kalangan tokoh sosial Aceh, sehingga menganggapnya sebagai bentuk
kurang amanahnya pemimpin Indonesia atas Aceh. Sebagai reaksi politik, Teungku
Daud Beureueh terpaksa memproklamasikan daerah Aceh sebagai bagian dari Negara
Islam Indonesia tahun 1953. Negara Islam Indonesia ini sebelumnya telah
diproklamasikan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo tahun 1948. Pemisahan yang
dilakukan Aceh adalah demi mempertahankan keunikannya. Konflik elit politik
nasional di Aceh usai tanggal 26 Mei 1959 saat Aceh diberi status Daerah
Istimewa dengan otonomi luas, utamanya dalam bidang adat, agama, dan
pendidikan.
Selain kekecewaan pada pemerintah
pusat, konflik juga muncul akibat marjinalisasi identitas kultural masyarakat
Aceh. Sebagai komunitas politik dan sosial otonom pra kolonial, Aceh punya
konsep khas tentang budaya mereka (terkait agama Islam) yang berkembang sejak
masa kesultanan Samudera Pasai. Identifikasi kultural yang lekat pada agama
Islam mendorong negosiasi politik antara pimpinan Aceh dengan pemerintah awal
Indonesia untuk menyelenggarakan syariat Islam di wilayah Aceh.
Konflik kembali meruyak setelah
pada tahun 1974 pemerintah pusat menerbitkan UU No.5 tahun 1974 tentang
Pokok-pokok Pemerintahan Daerah dan UU No.5 tahun 1979 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan Desa. Kedua undang-undang ini dianggap mengancam kekhasan
sosio-kultural Aceh. Struktur administrasi baru masyarakat Indonesia juga harus
diterapkan di Aceh sehingga merombak lembaga-lembaga adat yang telah ada sejak
lama. Untuk menjamin penetrasi UU tersebut, pemerintah pusat menciptakan
jaringan elit lokal sebagai perpanjangan tangan dari elit pusat.
Gencarnya pembangunan pabrik
untuk eksploitasi alam berdampak pada meningkatnya kaum pendatang ke Aceh,
utamanya dari Jawa. Para pendatang ini dianggap – dari kamata para pengelola
pabrik – lebih profesional. Ketimpangan rekrutmen pekerja ini mendorong
munculnya prejudis di kalangan Aceh atas pendatang sehingga memperkuat jargon
anti Jakarta yang terkembang dalam Gerakan Aceh Merdeka. Di lain pihak,
masyarakat Aceh secara rasional mulai menyadari bahwa hasil tambang (gas dan
minyak bumi) mereka telah tereksploitir dan profitnya lebih banyak dibawa ke
pusat ketimbang dikembalikan ke daerah. Bukti bahwa konflik Aceh belum usai adalah
seorang tokoh Aceh, Hasan Datuk di Tiro, mendirikan Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
tahun 1976, dengan propaganda anti Jawa. Berdirinya GAM merupakan sebuah katup
pelepasan rangkaian faktor pendorong konflik di Aceh. Manifestasi konfliknya
bersifat vertikal, yang direpresentasikan konflik militer antara GAM versus
ABRI (saat itu). Lebih tinggi lagi, konflik daerah versus pusat. Dalam konflik
ini, Aceh dimasukkan ke dalam Daerah Operasi Militer (DOM). Sikap pusat ini
bukannya melemahkan GAM, justru sebaliknya, memperkuat justifikasi atas
eksisnya eksploitasi pusat terhadap Aceh dan membenarkan gerakan mereka.
Pemberlakuan DOM mengindikasikan
resolusi konflik yang state-centric, di mana kekuatan militer digelar sejak
tahun 1970-an. Resolusi konflik tidak kunjung meredakan konflik, karena
sifatnya reaktif, tidak menyentuh akar konflik, dan didominir penggunaan
kacamata pemerintah pusat. Hanya penyelesaian bersifat dialogis, tenang, dan
saling pengertian saja yang mampu menyelesaikan larutan konflik Aceh. Lambang
Trijono menulis, setelah mengambil momentum bencana Tsunami Aceh 2004,
pemerintah Indonesia kembali membuka dialog perdamaian dengan tokoh-tokoh GAM.
Puncaknya adalah penandatanganan Memorandum of Understanding (MOU) oleh
Pemerintah Republik Indonesia (diwakili Menkumham Hamid Awaludin), Gerakan Aceh
Merdeka (diwakili Malik Mahmud selaku Pimpinan Delegasi GAM) dan Martti
Ahtisaari (mantan Presiden Finlandia, ketua dewan direktur Crisis Management
Initiative sebagai fasilitator) pada hari Senin tanggal 5 Agustus 2005 di
Helsinki, Finlandia.
Dalam masalah keamanan, GAM
sepakat untuk mendemobilisasi 3.000 pasukan militernya, dengan mana anggota GAM
tidak lagi menggunakan seragam, emblem, atau simbol militer mereka sendiri
setelah penandatangan Nota Kesepahaman. GAM juga sepakat menyerahkan
persenjataan sejak 15 September 2005 dan selesai 31 Desember 2005. Jumlah
tentara organik pemerintah yang tetap berada di Aceh setelah relokasi adalah
14.700 orang. Jumlah polisi organik yang tetap berada di Aceh setelah relokasi
adalah 9.100 orang.
Kini,
merupakan tugas seluruh pihak, baik pemerintah daerah Aceh, rakyat Aceh,
pemerintah Republik Indonesia, dan seluruh warganegara Indonesia untuk
mempertahankan keberhasilan perdamaian yang telah dicapai dengan susah payah. Kini
Aceh harus membangun, terlebih setelah hentakan Tsunami dan konflik
berlarut-larut yang terjadi selama ini.