Kegelisahan pak
Mahfud pada koruptor
Gagasan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD soal
hukuman terhadap koruptor menuai kontroversi. Mahfud mengusulkan agar para
koruptor dipermalukan dengan cara menempatkan mereka di “kebun koruptor” yang
lokasinya bersebelahan dengan kebun binatang.
Menurut Mahfud, koruptor sebenarnya berhati binatang dan
layak ditempatkan di kebun binatang sekaligus ditunjukkan ke publik sebagai
koruptor. Tentu banyak pihak yang tersengat dengan gagasan segar Mahfud itu,
khususnya anggota DPR. Politisi Partai Demokrat Ruhut Sitompul menuding Mahfud
melakukan pencitraan terkait dengan Pemilu 2014.
Mahfud yang terkenal lugas sebelumnya juga sempat
mengeluarkan pernyataan pedas dan terbilang ‘gila’. Mahfud pernah mengungkapkan
praktek jual-beli pasal dalam pembuatan undang-undang di DPR. Pria kelahiran
Madura itu juga pernah mengusulkan agar jenazah koruptor tidak perlu disalati,
bahkan menghukum mati para koruptor.
Gagasan berani Mahfud disambut dengan pernyataan Ketua
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas yang menyebut kerja anggota
DPR hanya memiskinkan rakyat karena selalu bermewah-mewahan dan hedonis. Di
sinilah banyak orang bertanya, “Apakah pernyataan kedua penjaga gawang lembaga
hukum bergengsi itu sekadar mencari sensasi?” atau “Apakah hal itu sebagai ekspresi
kegelisahan mereka melihat kondisi bangsa yang kian hancur digerogoti
koruptor?”
Integritas Hukum
Bila dibaca lebih jernih, ide yang keluar dari Mahfud maupun
Busyro tidak boleh dibilang sebagai gagasan ngawur yang tidak memakai dasar
argumentasi. Sebagai pejabat yang dikenal bersih, memiliki integritas, dan
rekam jejak yang baik, pernyataan Mahfud patut kita renungkan. Mungkin, alasan
Mahfud menyampaikan ide-ide kontroversial lantaran kecemasannya melihat hukum
di Indonesia yang kini sudah kehilangan integritas.
Dengan kata lain, ide Mahfud bisa menjadi antitesis dari
iklim dunia peradilan Indonesia yang kerap memberi vonis ringan terhadap
terdakwa kasus korupsi. Itu sebabnya, Indonesia acap disebut negara yang ramah
terhadap koruptor. Sebagai contoh, kita barangkali bisa melihat video Rumah
Tahanan (Rutan) Salemba, Jakarta, yang dipublikasikan mantan narapidana,
Syaripudin Supri Pane, beberapa waktu lalu.
Video yang berdurasi 20 menit itu semakin meneguhkan
anggapan masyarakat selama ini, yakni hukum Indonesia sudah tidak lagi
memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan, khusunya koruptor. Bagi terpidana
kasus korupsi, rutan tak ada bedanya dengan hotel berbintang.
Video amatir yang dibuat pada 2008 saat Syaripudin ditahan
di Rutan Salemba atas kasus pemalsuan dokumen itu jelas-jelas memperlihatkan
perlakukan yang diskriminatif terhadap para napi. Tergambar pula kisah-kisah
satire nan ironis. Terlihat, misalnya, para tahanan bebas menggunakan telepon
seluler, praktek suap, hingga ruangan untuk melakukan aktivitas seksual.
Di Blok K Rutan Salemba yang merupakan blok khusus yang
dihuni narapidana kasus korupsi mulai dari pejabat pemerintah sampai petinggi
perusahaan, terdapat fasilitas AC, kulkas, dispenser, dan TV. Blok tersebut
juga memiliki lapangan bulu tangkis bahkan fasilitas game dan karaoke juga
tersedia untuk penghuni blok.
Yang mengejutkan, laiknya sebuah hotel, rumah tahanan juga
memiliki tarif. Seperti di Blok K, harga yang dibanderol yakni Rp30 juta sampai
dengan pembebasan. Selain itu, setiap bulan penghuni wajib membayar uang
kebersihan, keamanan, dan listrik sebesar Rp1,25 juta. Para pengunjung harus
melewati beberapa petugas keamanan.
Petugas itu juga merupakan napi-napi di sana. Setiap
penghuni di area itu dipersilakan memiliki pembantu untuk memasak atau
membersihkan kamar. Ada juga tukang cuci pakaian. Untuk pembayaran gaji
tergantung kesepakatan pekerja dan para majikannya.
Kerja Paksa
Melihat kondisi itulah, usulan “kebun koruptor” oleh Mahfud
tentu menjadi wajar. Sebab, hukuman yang dijalani koruptor terlalu ringan dan
tidak mampu memberi efek jera. Seharusnya, selain dimiskinkan para koruptor,
juga harus dibuat malu.
Indonesia bisa belajar dari China dalam peemberantasan
korupsi. Di Negeri Panda itu, terdakwa kasus korupsi menjalani perlakuan khusus
yang akan membuat malu keluarganya. Tangan dan kaki mereka diborgol serta
diwajibkan menjalani kerja paksa dan ditayangkan televisi nasional.
Hukuman tersebut layak sekali diterima para koruptor,
mengingat korupsi—meminjam istilah Syed Hussein Alatas (1987)—adalah sebuah
penyalahgunaan kepercayaan untuk kepentingan pribadi atau pencurian melalui
penipuan dalam situasi yang mengkhianati kepercayaan. Korupsi adalah kejahatan
luar biasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar