Rabu, 27 Juni 2012


Kegelisahan pak Mahfud pada koruptor

Gagasan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD soal hukuman terhadap koruptor menuai kontroversi. Mahfud mengusulkan agar para koruptor dipermalukan dengan cara menempatkan mereka di “kebun koruptor” yang lokasinya bersebelahan dengan kebun binatang.
Menurut Mahfud, koruptor sebenarnya berhati binatang dan layak ditempatkan di kebun binatang sekaligus ditunjukkan ke publik sebagai koruptor. Tentu banyak pihak yang tersengat dengan gagasan segar Mahfud itu, khususnya anggota DPR. Politisi Partai Demokrat Ruhut Sitompul menuding Mahfud melakukan pencitraan terkait dengan Pemilu 2014.
Mahfud yang terkenal lugas sebelumnya juga sempat mengeluarkan pernyataan pedas dan terbilang ‘gila’. Mahfud pernah mengungkapkan praktek jual-beli pasal dalam pembuatan undang-undang di DPR. Pria kelahiran Madura itu juga pernah mengusulkan agar jenazah koruptor tidak perlu disalati, bahkan menghukum mati para koruptor.
Gagasan berani Mahfud disambut dengan pernyataan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas yang menyebut kerja anggota DPR hanya memiskinkan rakyat karena selalu bermewah-mewahan dan hedonis. Di sinilah banyak orang bertanya, “Apakah pernyataan kedua penjaga gawang lembaga hukum bergengsi itu sekadar mencari sensasi?” atau “Apakah hal itu sebagai ekspresi kegelisahan mereka melihat kondisi bangsa yang kian hancur digerogoti koruptor?”
Integritas Hukum
Bila dibaca lebih jernih, ide yang keluar dari Mahfud maupun Busyro tidak boleh dibilang sebagai gagasan ngawur yang tidak memakai dasar argumentasi. Sebagai pejabat yang dikenal bersih, memiliki integritas, dan rekam jejak yang baik, pernyataan Mahfud patut kita renungkan. Mungkin, alasan Mahfud menyampaikan ide-ide kontroversial lantaran kecemasannya melihat hukum di Indonesia yang kini sudah kehilangan integritas.
Dengan kata lain, ide Mahfud bisa menjadi antitesis dari iklim dunia peradilan Indonesia yang kerap memberi vonis ringan terhadap terdakwa kasus korupsi. Itu sebabnya, Indonesia acap disebut negara yang ramah terhadap koruptor. Sebagai contoh, kita barangkali bisa melihat video Rumah Tahanan (Rutan) Salemba, Jakarta, yang dipublikasikan mantan narapidana, Syaripudin Supri Pane, beberapa waktu lalu.
Video yang berdurasi 20 menit itu semakin meneguhkan anggapan masyarakat selama ini, yakni hukum Indonesia sudah tidak lagi memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan, khusunya koruptor. Bagi terpidana kasus korupsi, rutan tak ada bedanya dengan hotel berbintang.
Video amatir yang dibuat pada 2008 saat Syaripudin ditahan di Rutan Salemba atas kasus pemalsuan dokumen itu jelas-jelas memperlihatkan perlakukan yang diskriminatif terhadap para napi. Tergambar pula kisah-kisah satire nan ironis. Terlihat, misalnya, para tahanan bebas menggunakan telepon seluler, praktek suap, hingga ruangan untuk melakukan aktivitas seksual.
Di Blok K Rutan Salemba yang merupakan blok khusus yang dihuni narapidana kasus korupsi mulai dari pejabat pemerintah sampai petinggi perusahaan, terdapat fasilitas AC, kulkas, dispenser, dan TV. Blok tersebut juga memiliki lapangan bulu tangkis bahkan fasilitas game dan karaoke juga tersedia untuk penghuni blok.
Yang mengejutkan, laiknya sebuah hotel, rumah tahanan juga memiliki tarif. Seperti di Blok K, harga yang dibanderol yakni Rp30 juta sampai dengan pembebasan. Selain itu, setiap bulan penghuni wajib membayar uang kebersihan, keamanan, dan listrik sebesar Rp1,25 juta. Para pengunjung harus melewati beberapa petugas keamanan.
Petugas itu juga merupakan napi-napi di sana. Setiap penghuni di area itu dipersilakan memiliki pembantu untuk memasak atau membersihkan kamar. Ada juga tukang cuci pakaian. Untuk pembayaran gaji tergantung kesepakatan pekerja dan para majikannya.
Kerja Paksa
Melihat kondisi itulah, usulan “kebun koruptor” oleh Mahfud tentu menjadi wajar. Sebab, hukuman yang dijalani koruptor terlalu ringan dan tidak mampu memberi efek jera. Seharusnya, selain dimiskinkan para koruptor, juga harus dibuat malu.
Indonesia bisa belajar dari China dalam peemberantasan korupsi. Di Negeri Panda itu, terdakwa kasus korupsi menjalani perlakuan khusus yang akan membuat malu keluarganya. Tangan dan kaki mereka diborgol serta diwajibkan menjalani kerja paksa dan ditayangkan televisi nasional.
Hukuman tersebut layak sekali diterima para koruptor, mengingat korupsi—meminjam istilah Syed Hussein Alatas (1987)—adalah sebuah penyalahgunaan kepercayaan untuk kepentingan pribadi atau pencurian melalui penipuan dalam situasi yang mengkhianati kepercayaan. Korupsi adalah kejahatan luar biasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar